Wednesday 14 February 2018

CINTAKU SEBATAS SENJA

Dok. Pribadi

Ketika senja tak hadir sore ini, apa yang kau tunggu lagi? Malam? Ataukah sang rembulan?
Kulangkahkan kaki kecil menyusuri pasir putih. Kubimbing diri menuju tepi pantai yang berombak. Aku masih tetap saja di sini menanti kepulangannya. Hingga jarum jam mengejar waktu hingga matahari tak berkedip di ufuk timur, aku masih setia berpijak. Berpijak pada satu tempat di mana terakhir kali dia beranjak.
Masih di senja yang sama pada hari ke empat puluh delapan setelah wajahnya tak lagi ku temui di penghujung hariku. Aku masih mematung di sini, berharap senyumnya muncul di kedua mataku. Hehhh…..lagi-lagi ku menghela nafas panjang. Mimpi itu tak kunjung usai, selalu saja meyakinkanku bahwa dia takkan kembali lagi ke pangkuan.

**-**
Seperti laut yang memilih ombak sebagai pasangannya. Aku pun demikian. Aku memilih kamu sebagai seorang nahkoda untuk mengendalikan bahtera rumah tanggaku. Aku selalu di sini, menunggumu. Walau senja tak selalu berteman padaku.
Pelabuhan Ketapang sudah mulai ramai dengan hiruk pikuk orang dari beberapa suku daerah. Ada Jawa, Asmat, banjar, Madura ataupun Dayak. Mereka membaur menjadi satu menciptakan suatu keindahan tentang Indonesia dalam Bhineka Tunggal Ikanya. Sore ini senja melukis langit dengan sangat indah. Ekornya memanjang mengguratkan warna jingga di cakrawala.  Terlihat tiga orang anak logam duduk-duduk di atap kapal. Dan…..Byurrrr…..byurrrr....byurrrr. Sesaat sebelum Kapal Ferry berangkat, tanpa komando, tiga anak ini telah loncat ke laut dari atap kapal. Sambil berenang tangannya menggapai-gapai sesekali berteriak minta para penumpang untuk melempar koin ke laut. Kuambil uang logam dari dalam saku, aku lemparkan ke laut. Jleb, uang tenggelam. Segera anak-anak logam berebut meyelam, menggapai uang logam sebelum sampai dasar laut. Demi sebiji koin, mereka rela berenang tak peduli siang ataupun malam. Padahal di rumah, kalau ada uang logam lima ratusan atau seribuan jatuh, aku enggan untuk memungutnya. Tapi anak-anak pemburu koin di Pelabuhan Ketapang ini sungguh luar biasa.
Aku panjang-panjangkan leher agar mata ini menangkap sosok lelaki yang aku cari. Sudah setengah jam aku menanti di dermaga ini. Tak tak lama,  di kejauhan aku lihat lelaki berbaju biru safir sedang menyunggingkan senyumnya untukku. Kaki ku langsung melangkah sedemikian cepat, berlari memburu rindu yang sudah membuncah di dalam dada. Ku peluk lelaki itu dengan sangat kuat. Tak ingin rasanya dirinya lepas dari rengkuhan tanganku.
“Dinda, jangan kuat-kuat. Aku tak bisa bernafas nih.”
Ku lepaskan pelukanku dari lelaki tersebut. Aku pandangi wajahnya sesaat. Tampak keringatnya memenuhi wajahnya yang oval. Masih seperti dulu. Tapi sekarang dia terlihat lebih dewasa.
“Kamu tega membiarkan aku mati kehausan rindu darimu.” Ucapku cemberut.
Pandu hanya tersenyum.
“Tapi sekarang kan kita sudah bertemu, Dinda. Bagaimana kabarmu? Empat tahun tidak bertemu, kamu tetap seperti dulu. Tetap cantik.”
“Mulai deh gombal. Ayo kita segera pulang. Matahari hampir terbenam. Nanti kemalaman sampai rumah.”
Aku dan Pandu berjalan di atas keriuhan ombak. Kami berjalan beriringan melepas rasa rindu yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Terkadang tawa dari bibir kami ikut mengiringi setiap langkah kaki kami.
“Dinda, kamu tampak kurusan.”
Aku hanya tersenyum. Entah kenapa hatiku mulai gusar. Tidak seperti biasanya saat menjemput Pandu di pelabuhan.
Kami berjalan menyusuri pantai yang telah terjamah air laut. Kami saling diam dengan pikiran masing-masing. Beda. Dulu kami sering tertawa sambil berkejar-kejaran di keramaian deru ombak. Kini kami hanya diam seribu bahasa seperti sebuah patung Romeo Juliet di Teater Delacorte. Tak ada di antara kami mencoba membuka suara. Kami hanya saling pandang.
“Bagaimana kabarmu, Pandu?” aku coba untuk memulai pembicaraan. Aku sudah tidak tahan berjalan dalam diam.
“Eh, Iya baik. Kamu sendiri bagaimana? Pasti lulus kemarin kamu dapat nilai bagus. Kamu kan pintar. Kalau aku, ya seperti yang kamu tahulah.” Jawab Pandu.
“Apa kamu masih ingat dengan janjimu, Pandu?" tanyaku penasaran.
“Janji apa Dinda?" Pandu terlihat bingung.
Aku mencoba untuk mengahalau air mataku yang sudah siap turun. Kenapa Pandu lupa kalau dia janji mau menikahiku setelah kami lulus? Batinku perih.
“Sudahlah, tidak penting juga kok.” Ujarku bohong.
“Aku akan kembali lagi ke Bali, Dinda. Aku akan menetap di sana. Orang tuaku sudah mengurus pindahan kami ke sana.”
“Kamu menetap di Bali? Kenapa harus di sana Pandu? Lalu bagaimana dengan hubungan kita?” suaraku mulai tak bisa terkontrol.
“Kalau memang kita jodoh, kita akan dipertemukan lagi Dinda. Maafkan aku.”
“Tidak Pandu. Setelah empat tahun aku menanti kamu kembali, kenapa kamu sekarang mau pergi dariku?”
“Sesekali aku akan ke Banyuwangi untuk menemuimu. Bukankah kita sudah terbiasa jarak jauh, Dinda?”
Ya, memang kita sudah terbiasa jarak jauh. Cinta dan rindu hanya ada dalam hati sedangkan raga terpisah selat Bali. Tapi aku takut sekarang, Aku terlalu takut untuk menjalani hubungan jarak jauh lagi.
Ku tatap mata Pandu dalam-dalam. Dia berusaha tegar di depanku. Tetapi sorot mata itu seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa aku terjemahkan.

**_**
Empat puluh delapan hari setelah dia pergi….
Nyiur melambai-lambai mengikuti kemana bayu berlari. Terkadang langkah bayu mengibar-ngibarkan rambutku yang hitam panjang. Aku duduk termenung di atas batu karang yang telah tercabik-cabik air laut setiap hari. Pandanganku menerawang ke siluet senja yang masih dini. Kelima jariku meremas sebuah surat bersampul biru. Sebuah surat yang diberikan Pandu sekitar dua bulan yang lalu. Sebuah surat yang aku kira akan membahagiakan hidupku.

Dinda, adakalanya hidup harus memilih. Memilih tetap bersama atau harus terpisah. Meskipun hati menolak tapi jika takdir berkehendak lain, apakah bisa ditawar? Kau adalah wanita baik dan manis yang pernah aku kenal. Seseorang yang selalu mengisi hari-hariku di kala aku kesepian. Aku tidak mencintaimu seperti seseorang yang datang di temaram senja dan pergi di saat fajar menjelang seperti kata Kahli Gibran dalam puisi-puisinya. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sangat sederhana. Selat bali telah memisahkan kita empat tahun lamanya. Tapi cinta ini telah terpatri dalam kokohnya batu karang. Ya dalam batu karang. 
Dinda, maafkan aku. Mungkin setelah kau baca surat ini, aku sudah berada di tengah samudera. Diombang-ambingkan ombak yang terkadang ganas. Mungkin seperti itulah rasa hatiku saat ini. Terombang-ambing bagaikan buah simalakama. Pertemuan tadi adalah pertemuan terakhir kita. Maafkan aku Dinda karena aku tak bisa jujur padamu. Aku tak tega menyakiti hatimu dengan belatiku. Aku akan kembali ke Kuta untuk menetap di sana. Dan aku akan menikah. Aku dijodohkan dengan anak temannya Ibuku. Maafkan aku tak bisa mempertahankanmu karena derajat kita memanglah berbeda. Jangan menungguku lagi seperti yang kau lakukan saat senja menyapa. Jangan mengharapkan aku lagi Dinda. Semoga ada seseorang yang menjadi pendampingmu lebih baik dari aku. Sekali lagi, maafkan aku.
                       Yang menyakitimu
       Pandu

Senja tak berwarna sore ini. Ekornya putih seputih kapas bak hatiku yang ditinggalkannya. Putih tak senada pelangi. Ku pandangi surat itu sekali lagi. Cukup. Air mataku sudah banyak menganak sungai. Kenapa cinta harus beralaskan kasta? Bukankah aku juga seorang manusia yang berhak bahagia? Ku hanyutkan surat itu ke laut bersama semua kisah tentangnya. Mungkin senja sedang menangisi kisah ini sepertiku ataukah senja malah tertawa menonton drama percintaanku dengan Pandu? Aku hanya bisa mematung di sini tanpa bisa ku merengkuhnya lagi karena hanya sebatas senja cintaku bersemi.




#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-21

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search